Kamis, 05 Januari 2012

1000 Sandal Untuk AAL

1000 Sandal Untuk AAL
Oleh: M.A. Pamulutan
(Mantan Sekretaris II IKAS tinggal di Pangkalan Kerinci)



Sejak bergulirnya era reformasi dan terbukanya semua kran kebebasan berekspresi di semua bidang kehidupan yang --semula-- diharapkan menjadi antithesis dari segala pembatasan yang terjadi pada era sebelumnya (baca: orde baru), hingga menjelang akhir 2011 lalu Indonesia nyaris tidak pernah sepi dari aksi protes dari berbagai pihak yang tidak puas terhadap tindakan pemerintah dengan berbagai bentuknya. Mulai dari yang paling remeh temeh seperti sekedar membuat surat kaleng sampai kepada aksi yang paling ekstrim dan berbahaya seperti aksi jahit mulut, menyilet dahi, memanjat dan mencoret gedung DPR, bahkan sampai aksi “bakar diri.”
Di akhir tahun 2011 yang lalu, belum hilang dalam ingatan kita tentang adanya kasus seorang siswa SMK berusia 17 tahun bernama Aal di Palu yang didakwa jaksa melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian dan diancam dengan pidana 5 tahun penjara karena mencuri sandal jepit milik seorang polisi, kini ia tengah menjalani persidangan di PN Palu yang menyita perhatian masyarakat banyak. Kasus yang bermula pada November 2010 lalu ketika Aal bersama temannya lewat di Jalan Zebra di depan rumah kost Briptu Ahmad Rusdi (AR) Aal melihat ada sandal jepit yang kemudian menggerakkan Aal untuk mengambilnya. Selang beberapa bulan kemudian (Mei 2011), Briptu AR memanggil Aal dan temannya untuk diinterogasi. Namun selain diinterogasi, AAL juga dipukuli hingga babak belur.
Mencuatnya kasus ini di media massa kontan saja menuai reaksi pro dan kotra dari berbagai kalangan, termasuk pihak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan SOS Children Vilage's Indonesia. Sebagai bentuk protes terahadap kasus ini, seolah terilhami oleh gerakan “koin untuk Prita” yang pernah menggemparkan Indonesia beberapa waktu sebelumnya, mereka juga menggelar aksi serupa yang disebut gerakan “1000 sandal untuk Aal” yang konon digagas oleh Budhi Kurniawan dari SOS Children Vilage's Indonesia. Aksi yang diakui Budhi sebagai aksi spontan dari masyarakat ini dilakukan sejak 29 Desember 2011 dan berakhir 3 Januari 2012 dalam bentuk pengumpulan berbagai jenis sandal yang rencananya akan diserahkan kepada Kapolri guna membebaskan Aal tersebut ternyata menurut Budhi diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat di Indonesia, dari kuli bangunan, penarik becak hingga jenderal TNI.
Kembali ke Akar Masalah
Jika dikaji lebih mendalam, maka sebelum sampai kepada aksi 1000 sandal untuk Aal ini maka akan ditemukan bahwa akar masalah yang sebenarnya adalah persoalan telah terjadinya pelanggaran etika dan pelangaran hukum. Di satu sisi jika benar remaja Aal telah mencuri sandal yang tergeletak di depan rumah orang, maka ia telah melakukan dua hal sekaligus, yaitu pelanggaran moral dan pelanggaran hukum, terlebih hal itu dilakukan terhadap milik sorang polisi. Sebab jangankan seorang polisi, bahkan seorang pencuri pun tidak akan rela barangnya dicuri, sekecil apapun barangnya itu. Dalam hal ini, rasanya perlu pertimbangan untuk membenarkan tindakan yang dilakukan itu, terlebih Aal ini adalah putra harapan bangsa di masa mendatang. Karena apa jadinya jika setiap anak di Indonesia mempunyai kecenderungan yang sama seperti Aal.
Sebaliknya, sebagai korban dari kejahatan moral, pelanggaran hukum dan hak yang dilakukan Aal, “mungkin” dapat dimaklumi jika Briptu AR melakukan reaksi terhadap tindakan Aal. Namun reaksi yang terlambat (sudah lebih 5 bulan setelah kejadian) dan berlebihan dengan memukuli Aal hingga babak belur tentu juga tidak bisa dimaklumi. Karena sebagai seorang pelindung rakyat tidak sepantasnya ia melakukan tindakan kekerasan terhadap anak yang masih relative lemah. Tindakan mana selain bukan merupakan tindakan yang kesatria sekaligus juga meruoakan pelanggaran hukum (baca: UU Perlindungan Anak).
Selanjutnya jika kita tinjau kepada tindakan Jaksa memperkarakan kasus ini ke Pengadilan dengan dakwaan yang fantastis terhadap Aal, maka meskipun secara hukum tindakan jaksa itu “tidak salah” dan sesuai dengan tugasnya namun tentu akan lebih bijaksana jika turut dipertimbangkan pula hal-hal lain di luar aspek hukum an sic. Artinya, mengingat jika dilihat dari aspek barang yang dicuri hanya berupa sandal dan dilakukan oleh seorang anak yang belum tentu benar-benar nakal, maka akan lebih bajik dan bijak jika oleh jaksa yang dominus litis berkas perkaranya tidak dilimpahkan ke Pengadilan dan anak tersebut dikembalikan kepada pihak yang berkompeten untuk membina dan membimbingnya.
Lalu dari aspek kenyataan pola penegakan hukum yang terjadi di Indonesia, maka kasus ini dapat dipandang sebagai buktinya nyata kebenaran teori yang menyatakan bahwa hukum itu tak lebih dari sekedar “jaring laba-laba” yang hanya mampu menjerat serangga kecil layaknya semut, lalat dan nyamuk semata layakanya anak-anak dan masyarakat lemah lainnya. Sementara terhadap hewan hewan besar jaring tersebut akan hancur berantakan layak hukum yang bertekuk lutut di hadapan orang yang berkuasa dan kaya raya.
Solusi alternatif
Menurut penulis, gerakan “1000 sandal untuk Aal” yang telah berakhir pada selasa (3/1/12) ini menarik untuk ditelisik lebih lanjut dari berbagai aspeknya. Pertama, jika ditinjau dari aspek hukum ia merupakan tindakan yang kekanak-kanakan dan cenderung cari muka, bahkan terkategori sebagai “Pahlawan kesiangan,” sebab tindakan seperti itu tidak lebih dari sekedar ingin unjuk gigi bahwa mereka peduli. Patut dipertanyakan kemana mereka, atau apa yang mereka lakukan ketika anak itu melakukan aksi kejahatannya? Lalu apakah dengan begitu hukum dapat dikalahkan? sehingga dapat menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum; Kedua, dari aspek ekonomis aksi ini merupakan tindakan “mubazzir” karena apa guna mengumpulkan ribuan sandal yang seharus dipakai dan dipergunakan, tapi justru malah dikumpulkan lalu digunakan untuk menekan negara.
Langkah selanjutnya, menurut penulis yang sebaiknya dilakukan adalah tetap mengawal proses hukum yang telah berjalan agar sesuai dengan ketentuan hukum yang benar dengan cara memberikan pendampingan terhadap Aal agar mendapatkan keadilan hukum. Sebab, bagaimanapun keadaannya jika benar ia terbukti bersalah ia harus dihukum sesuai aturan yang berlaku baginya demi tegaknya hukum dan kemaslahatan dirinya sendiri. Di samping itu, yang mutlak dilakukan adalah memproses Briptu AR sesuai hukum yang berlaku atas kesalahanannya melakukan tindak kekerasan terhadap anak di bawah umur sesuai pasal 80 Undang-undang Perlindungan Anak. Hal ini penting agar hukum ditegakkan dan tidak ada lagi kejadian serupa, baik dilakukan oleh oknum aparat kepolisian maupun anggota masyarakat lainnya.
Terakhir, yang paling penting lagi adalah bahwa dari kasus ini dapat diambil pelajaran bagi segenap warga bangsa kejahatan dapat dilakukan siapa saja tak peduli usia dan profesi seseorang, termasuk anak-anak dan aparatur negara. Karenanya, menjadi kewajiban bagi semua warga masyarakat untuk menjaga dan membimbing mereka sebelum terlanjur menjadi tindakan yang mereka anggap biasa. Wallahu a’lam.