Kamis, 04 Agustus 2011

Artikel Ramadan







RAMADHAN SYAHR AL-QUR'AN
Oleh : M. Arqom Pamulutan
--Bagian pertama dari dua tulisan--
Prolog
Bulan Ramadhan adalah bulan mulia, kemuliaan Ramadhan disebabkan karena di dalamnya bertabur keberkahan dari Allah. Bagi orang yang pandai memanfaatkan semua momen penting dalam Ramadhan, maka pada sepertiga pertamanya Allah melimpahkan rahmah-Nya, pada sepertiganya yang  kedua Allah menjanjikan maghfirah-Nya dan pada sepertiganya yang terakhir Allah berikan kebebasan dari api neraka.
Di samping itu, tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu keutamaan Ramadhan adalah karena di bulan ini Allah berkenan menurunkan anugerah terbesarnya bagi manusia, yakni Al-Qur’an. Hal ini tepatri dalam firman-Nya : “Bulan Ramadhan adalah bulan  yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an (yang menjadi) petunjuk bagi manusia dan penjelasan bagi petunjuk itu serta menjadi furqān (pembeda antara yang hak dan yang batil).” Q.S. al-Baqarah (2): 185.  Sehingga tidak heran jika Ramadhan selalu dihubungkan dengan al-Qur’an, bahkan sebagian besar  ulama’ menyematkan gelar bagi Ramadhan sebagai bulan al-Qur’an (Syahr al-Qur’an) dan menggiatkan di dalamnya aktivitas membaca al-Qur’an sepanjang bulan Ramadhan melebihi apa yang dilakukan pada 11 bulan yang lain.
Persolannya sekarang adalah apakah umat Islam sudah benar-benar membaca al-Qur’an dan mendapatkan faidah dari bacaan tersebut? atau belum?, sudahkah mereka membaca al-Qur’an secara benar sebagaimana yahg dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya serta yang dicontohkan oleh para ulama terdahulu (al-Salaf al-Shālih)? Yaitu dengan selalu mengharapkan perniagaan yang tidak merugi dengan Allah dan mendapatkan tambahan anugerah karunia Allah sebagaimana firman-Nya : “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat serta menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. Agar Allah menyempurnakan bagi mereka pahala mereka dan menambah bagi mereka karunia-Nya, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha mensyukuri.” Q.S. Fathir (35): 29-30.  
Untuk menjawab pertanyaan diatas, melalui risalah sederhana ini penulis yang lemah dan tak berilmu di hadapan Allah ini ingin menawarkan beberapa hal menyangkut bagaimana idealnya umat manusia --terutama umat Islam-- membaca al-Qur’an secara baik. Kiranya mendatangkan manfaat bagi penulis dan pembaca sekalian. Secara sederhana, agar bacaan al-Qur’an mendatangkan faidah bagi pembacanya maka paling tidak ia harus dibaca dengan dua cara: Pertama, membaca lafal-lafal al-Qur’an secara lahiriah (tilāwah lafdhiyyah); dan kedua, membaca al-Qur’an dan hukum yang terkandung di dalamnya (tilāwah hukmiyyah).
Pertama, Membaca Lafal-lafal dalam al-Qur’an (Tilāwah Lafdhiyyah)
            Tilāwah lafdhiyyah atau disebut juga qirā’ah al-Qur’an, adalah membaca lafal-lafal dalam al-Qur’an secara benar sesuai dengan kaidah-kaidah bacaan al-Qur’an (tajwid) dan adab-adab membacanya. Dalam hal ini banyak sekali nash yang menyebutkan tentang keutamaannya, baik membaca keseluruhan isi al-Qur’an maupun surat-surat atau ayat-ayat tertentu. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Utsman Bin ‘Affan menjelaskan bahwa Rasul saw bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya.” Selain itu pada hadits yang lain dari ‘A’isyah ra, Bukhari juga meriwayatkan sabda Rasul saw: “Orang yang mahir membaca al-Qur’an kelak (mendapat tempat di surga) bersama para utusan yang mulia lagi baik (al-Safarah al-Kirām al-Bararah). Sedangkan orang yang membaca al-Qur’an dan masih terbata-bata dan merasa berat, maka ia mendapatkan 2 pahala.” Dijelaskan, bahwa 2 pahala ini merupakan balasan dari membaca al-Qur’an itu sendiri dan yang kedua adalah untuk rasa berat yang dirasakan pada saat membacanya. Sebagaimana juga ditengkan oleh hadits dari Abu Usamah, bahwa Rasul saw bersabda: “Bacalah al-Qur’an, karena pada hari kiamat ia akan datang sebagai pemberisyafa’at bagi orang yang membacanya.”
            Terhadap orang yang membaca al-Qur’an, dalam sebuah hadits yang bersandar pada riwayat dari Abu Musa al-Asy’ari dijelaskan bahwa Rasul saw. membuat perumpamaan bagi mukmin yang membaca al-Qur’an sebagaimana sabdanya: “Perumpamaan orang beriman yang membaca al-Qur’an seperti utrujjah (sejenis jeruk manis dan wangi), aromanya harum dan rasanya enak, sedangkan perumpamaan orang beriman yang tidak membaca al-Qur’an seperti buah kurma tidak beraroma tapi manis rasanya.”  Dalam hadits riwayat yang lain dalam satu hadits Muslim dari ‘Uqbah Bin ‘Amir juga diumpamakan oleh Rasul saw: “Sekiranya salah seorang di antara kalian berangkat di pagi hari ke masjid untuk belajar atau membaca dua ayat dari kitab Allah, maka itu lebih baik baginya dari dua ekor unta, dan tiga ayat lebih baik dari tiga ekor onta, empat ayat lebih baik dari empat ekor unta, serta (jumlah) ayat-ayat berikutnya lebih baik daripada unta (dalam jumlah yang sama).”            
            Siapa saja yang berkumpul di majelis-majelis ilmu dan mereka membaca al-Qur’an serta mempelajarinya bersama-sama, maka ketenangan akan turun kepada mereka, rahmat Allah akan menaungi mereka, para malaikat akan berkerumun di sekitar mereka dengan menyebut nama Allah di hadapan semua makhluk yang ada disisi-Nya. Karenanya Rasul saw. mewanti-wanti agar ummatnya menjaga hafalan al-Qur’an mereka, dengan sabdanya: “Peliharalah (hafalan) al-Qur’an, maka demi Allah Dzat yang menguasai jiwaku al-Qur’an itu lebih cepat terlepas daripada unta yang terikat dalam ikatannya.” (muttafaq ‘alaih).
            Bagi orang yang membaca al-Qur’an secara lafdhiyah ini akan dijanjikan mendapat pahala dari Allah untuk setiap hurufnya. Imam al-Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Abdullah Bin Mas’ud bahwa Rasul saw. bersabda: “Barang siapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, akan mendapatkan satu kebaikan dan satu kebaikan itu dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan Alif-lam-mim satu huruf, melainkan alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.”. Dalam hadits lain, al-Hakim meriwayatkan dari Abdullah Bin Mas’ud, Rasul saw. bersabda: “Sesungguhnya al-Qur’an merupakan jamuan dari Allah. Karenanya terimalah jamuan itu sebisa kalian, sesungguhnya al-Qur’an itu merupakan tali Allah yang kuat, cahaya yang menerangi serta penawar yang berguna. Ia adalah pegangan bagi orang-orang yang berpegang kepadanya dan keselamatan bagi orang yang mengikutinya. Dia tidak pernah menyimpang sehingga perlu dilempangkan, tidak pernah bengkok sehingga perlu diluruskan, tidak pernah habis keajaiban-keajaibannya, dan tidak pernah usang lantaran diulang. Bacalah ia, karena Allah akan memberimu pahala pada tiap-tiap huruf yang kamu baca sebanyak sepuluh kebaikan. Saya tidak mengatakan “Alif-lam-mim” itu satu huruf, akan tetapi alif adalah satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.”
            Demikianlah sebagian dari keutamaan-keutamaan membaca al-Qur’an yang diterangkan oleh Rasul saw. melalui para ulama pewaris belian dan ternyata bagi siapa saja yang melakukannya akan mendapat pahala yang besar dari perbuatan yang ringan. Sungguh telah tertipu dan merugi orang yang melalaikannya karena kehilangan pahalanya yang mungkin tidak akan dapat diraihnya lagi.
(bersambung ke bagian dua)
RAMADHAN SYAHR AL-QUR'AN
Oleh : M. Arqom Pamulutan
-- Bagian Kedua dari dua tulisan--
Kedua, Membaca hukum yang terkadung di dalam al-Qur’an (tilāwah hukmiyyah)
            Membaca al-Qur’an dengan model kedua ini adalah dengan cara membenarkan dengan penuh keyakinan semua informasi yang terkandung di dalamnya dan menerapkan hukum-hukumnya dengan melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah yang terkandung didalamnya.
            Cara membaca seperti ini merupakan tujuan terbesar dari diturunkannya al-Qur’an, Allah berfirman:  “Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” Q.S. Shad (38): 29. Untuk itu, para ulama terdahulu giat mempelajari al-Qur’an, membenarkannya (tidak meragukannya) dan menerapkan hukumnya secara nyata dengan didasari akidah yang mantap dan keyakinan yang kokoh. Hingga tak heran jika diriwayatkan bahwa ketika mereka menerima dan mempelajari dari Rasul saw. 10 ayat, maka mereka enggan menambahinya sebelum mereka benar-benar memahami dan mengamalkannya secara bersamaan.
            Sungguh, cara membaca seperti ini merupakan kunci menuju sebuah kebahagian, namun jika tidak dilakukan yang demikian maka dapat juga menjadi kunci yang menghantarkan menuju kesengsaraan. Allah berfirman:   “ … Maka barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, Mengapa Engkau menghimpunkan Aku dalam keadaan buta, padahal Aku dahulunya adalah seorang yang melihat?.  Allah berfirman: Demikianlah, Telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, Maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan. Dan demikianlah kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Tuhannya. dan Sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.” Q.S. Thaha (20): 123-127. 
            Demikianlah, dari ayat-ayat di atas Allah menjanjikan pahala bagi orang yang mengikuti petunjuk-Nya yang berupa wahyu yang disampaikan melalui utusan-Nya, yaitu mereka terhindar dari kesesatan dan kecelakaan. Sekaligus Ia mengancam orang yang enggan mengikuti petunjuk-Nya dengan kesesatan, kecelakaan dan kehidupan yang sempit  di dunia dan di akherat.
            Orang yang melalaikan ayat Allah akan merasakan kesempitan di alam kuburnya, dan ketika dihimpun nanti di akherat dalam keadaan buta. Dikatakan Allah dalam ayat yang lain: “… dan  kami akan mengumpulkan mereka pada hari kiamat (diseret) atas muka mereka dalam keadaan buta, bisu dan tuli. tempat kediaman mereka adalah neraka jahannam. tiap-tiap kali nyala api Jahannam itu akan padam, Kami tambah lagi bagi mereka nyalanya.” Q.S. al-Isra (17): 97. Mereka itu, sewaktu di dunia buta dari melihat kebenaran, tuli dari mendengar kebenaran dan bisu dari mengatakan yang benar, hal ini Allah gambarkan dalan firman-Nya: “Mereka berkata: hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding (hijab)…” Q.S. Fushshilat (41): 5
            Telah nyatalah bahwa dari sebagian kecil ayat yang dinukilkan tadi keutamaan orang yang mandapati dan membaca al-Qur’an dengan tilāwah hukmiyyah yaitu dengan meyakini kebenarannya dan mentaati hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, ia tidak akan sesat selamanya. Sementara bagi orang yang mengabaikan al-Qur’an --meskipun mungkin membacanya secara lafzhiyyah saja-- dan membelakangi hukum dan kebenaran Allah yang terkandung di dalamnya, maka mereka tidak terjamin dapat terhindar dari kesesatan.
Diriwayatkan dari Ibn Abbas ra. Rasul saw. yang mulia bersabda pada haji wada’ di hadapan seluruh umatnya : “Sesungguhnya setan telah berputus asa untuk dapat disembah di bumi kalian, akan tetapi ia rela dipatuhi dalam urusan selain itu (menyembah syetan) diantara amalan-amalan yang kalian remehkan. Karena itu, waspadalah kalian! Sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kalian  sesuatu yang jika kalian berpegang kepadanya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya; yaitu kitab Allah (al-Qur’an) dan sunnah Rasul-Nya.” (HR. Hakim, diriwayatkan juga oleh Ahmad dari sanad Ab Hurairah). Dalam hadits lain imam Muslim meriwayatkan dari Malik al-Asyrafi, bahwa Rasul saw. bersabda: “Al-Qur’an itu dalah bukti (hujjah) yang dapat menguntungkanmu bagimu dan sekaligus dapat memberatkan atasmu.”
Berkaitan dengan itu pula, Ibnu Mas’ud mengungkapkan opininya: “Al-Qur’an adalah perantara yang dapat membantu, siapa yang menjadikan al-Qur’an di depannya, maka Al-Qur’an akan menariknya ke surga, dan siapa saja yang menjadikan al-Qur’an di belakangnya, maka al-Qur’an akan menggiringnya ke neraka.” Na’ūdzu billah min dzālik.
Epilog
             Bulan Ramadhan adalah bulan mulia dimana Allah menurunkan al-Qur’an di dalamnya. Karenanya dengan memahami dua jenis tilawah sebagaimana terurai di atas, kiranya tidak berlebihan jika penulis yang haqīr dan faqīr  ilallah ini mengingatkan umat yang beriman untuk senantiasa memelihara al-Qur’an dengan sekuat daya dan tenaga sebelum hilang kesempatan. Caranya ialah sedapat mungkin membacanya dengan baik dan ikhlas, setidaknya secara tilāwah lafdhiyyah dahulu, lalu untuk kemudian secara tekun, pelan namun pasti berupaya membacanya dengan tilāwah hukmiyyah. Selayaknya ia memaklumi bahwa sungguh al-Qur’an yang ada di hadapan mereka, ada di lemari baca mereka, di perpustakaan kantor meraka, di masjid-masjid dan di sudut setiap rumah mereka, bahkan di dalam computer atau laptop mereka adalah petunjuk dan penolong mereka menuju keselamatan dan senjata yang paling ampuh dalam menghadapi semua kesesatan dan dalam pertempuran menghadapi godaan tipuan dunia. Karenanya adalah sebuah keniscaan jika mereka yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya selalu menjadikan al-Qur’an yang agung lekat di hati mereka.
            Adalah sesuatu yang ironis dan merupakan kekufuran yang nyata --bagi umat yang beriman-- jika al-Qur’an yang mulia diposisikan di belakang mereka hingga dengan mudah dan tanpa dosa mereka acuhkan, abaikan dan tinggalkna ketentuan hukum yang terkandung di dalamnya. Semoga, semoga dan semoga umat yang beriman tidak menjadi seperti mereka yang digambarkan Allah dalam firman-Nya: “Dan (Ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya seraya berkata: Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. (sungguh) kecelakaan besarlah bagiku, (alangkah baiknya) kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan (syaitan atau orang yang menyesatkan) itu teman akrab(ku).  Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari al-Quran ketika Al-Quran itu telah datang kepadaku. dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia. Berkatalah Rasul: Ya Tuhanku, Sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan. Dan demikian itulah, telah kami adakan bagi tiap-tiap nabi musuh dari orang-orang yang berdosa dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong.” Q.S. al-Furqan (25): 27-31. 
            In uridu illa al-ishlaha ma statha’tu wama taufiqi illa billah (Sungguh yang hamba (Penulis) inginkan adalah sebuah perbaikan, tidaklah segala taufiq bagi hamba kecuali dengan (lantaran kuasa) Allah). Wallahu a’lam. Selamat berpuasa.                     

(penulis adalah hakim Mahkamah Syar'iyah Jantho, Sekretaris II IKAS tinggal di Tanjung Selamat)
Artikel ini telah dimuat di Harian Berita Pagi terbitan Palembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar